Jendela Keluarga

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh Selamat Datang Di Blog Seuntai Kenangan

Rabu, 03 September 2008

Mengajarkan Anak Konsep Bermaafan

Umat muslim baru saja memasuki bulan Ramadhan. Namun meminta maaf sebaiknya tidak menunggu hingga hari Lebaran yang identik dengan kalimat minal aidin wal faidzin. Memaafkan seringkali kata yang yang mudah diucapkan tapi teramat sulit untuk dilakukan.

Rasulullah SAW adalah seseorang yang sangat mulia terutama dengan sikapnya yang sangat pemaaf. Sebuah kisah menceritakan beliau menjadi orang pertama yang menjenguk seorang Quraisy kala sakit, meski sebelumnya orang itu tak bosan-bosannya meludahi Rasulullah setiap hari. Sebuah sikap bijak yang menjadi salah satu bukti betapa Rasulullah sangat pemaaf.

Penulis buku Being Happy, Andrew Matthews mengatakan, ketika seseorang tidak memaafkan orang yang menyakitinya maka satu-satunya orang yang akan dirugikan adalah dirinya sendiri.

Permintaan maaf hendaknya dilatih sejak dini, saat anak mulai bisa berbicara. Hanya saja, pada usia anak bawah tiga tahun (batita), mengajarkan anak meminta maaf masih sebatas pengkondisian.

Mengingat, anak usia batita masih memiliki sifat egosentris yang tinggi sehingga biasanya mau menang sendiri. Kemudian, setelah anak berusia 3 tahun keatas, maka anak akan lebih mengerti pada situasi apa dia meminta maaf. Terutama, jika dia melihat orangtuanya juga meminta maaf jika melakukan kesalahan.

Konsultan anak prasekolah, batita dan bayi yang tinggal di Oakland County Michigan Kathryn Sims meminta agar orangtua tidak terlalu berharap anak batita meminta maaf atau memberi pelukan untuk menyenangkan seseorang atau ‘membereskan situasi’.

Alasannya, walau mengucapkan kata-kata maaf atau memeluk, mereka tidak memahami konsep ‘bagaimana perasaan orang lain’.

”Secara perkembangan, anak batita tidak dapat memakai perspektif orang lain. Kemampuan ini akan datang seiring perkembangan, bukan dari latihan,” papar Sims.

Sims berpendapat, tidak ada cara efektif untuk membantu anak batita untuk memulai pengendalian emosi dan perilaku, lantaran semua itu akan tiba dengan sendirinya seiring perkembangan dari waktu ke waktu.

“Perkembangan sosial dan emosional memerlukan waktu, pemahaman dan kesabaran,” tegas Sims.

Penulis buku The Parent’s Toolshop: The Universal Blueprint for Building a Healthy Family Jody Johnston Pawel mengakui, membiasakan anak meminta maaf akan membantu anak menerima tanggung jawab atas suatu kesalahan dan memberi sarana untuk membuat segala sesuatu baik kembali.

Selain itu, meminta maaf juga membantu anak yang diibaratkan mengeluarkan diri dari lubang kesalahan, menjernihkan udara yang sesak oleh ketegangan, membantu memperbaiki hubungan, dan memberi permulaan baru.

Umumnya meminta maaf bersungguh-sungguh secara tulus, baru bisa dipahami anak pada usia sekolah dasar. Pada masa itu, anak-anak sudah lebih bisa mengerti mengenai hal-hal yang abstrak.

“Permintaan maaf dari hati secara tulus memang bersifat abstrak, tapi kesalahannya bersifat konkrit. Misalnya, buku yang rusak akibat perbiatannya, atau temannya yang terluka karena dipukul. Jadi untuk anak usia SD, mereka bisa lebih mudah mengerti,” jelasnya. (republika.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar