Jendela Keluarga

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh Selamat Datang Di Blog Seuntai Kenangan

Rabu, 16 Januari 2008

Jilbab Bagi Muslimah Tidak Wajib??!!

Penulis : Abi Abdullah
Di akhir zaman ini, banyak orang yang berani berfatwa dengan menabrak kesepakatan para ulama, keluar dari kaidah belajar ilmu fiqh yang disepakati, mencari pendapat-pendapat yang syadz (nyleneh), bagi orang yang benar-benar mempelajari fiqh tidak tertutup lubang-lubang kelemahan mereka. Semua ini mereka lakukan hanya demi memuaskan orang-orang kafir bahwa Islam itu toleran, mengikuti zaman, padahal kelemahan pendapat mereka itu amat sangat mereka sadari.

Mirisnya lagi, hal tersebut dilakukan oleh orang-orang yang katanya bergelar doktor atau bahkan profesor, lalu diajarkan dengan penuh semangat di universitas-universitas yang sebagian besar (tidak seluruhnya) para pengajarnya belajar dari negara-negara sekular dan kuffar, atau ada pula yang belajar dari negara Islam tapi pada orang-orang yang sudah nyleneh pula dan dikenal menjadi kolaborator kuffar.

Salah satu dari fatwa yang demikian itu adalah bahwa Jilbab itu tidak wajib, atau merupakan masalah ijtihadiyah, atau masalah khilafiyyah, sehingga dalil hukumnya bersifat relatif dan tidak mengikat, demikianlah salah satu igauan mereka di siang-bolong, yang jika kita teliti fatwa-fatwa mereka itu nampaklah pemutarbalikan fakta di mana-mana, perancuan dalil yang shahih dengan yang dha'if, memaksakan diri menggunakan tafsir bir ra'yil qabih/tafsir dengan logika yang sesat (karena ada juga tafsir yang bir ra'yi shahih/logika tapi terbimbing oleh wahyu), dan mereka ini secara sengaja menjauhi tafsir bil ma'tsur (tafsir menggunakan dalil, karena akan menghancurleburkan semua pijakan mereka itu), mereka juga menggunakan kaidah ushul-fiqh secara terbalik-balik sesuai hawa nafsu mereka sendiri, dan lain-lain.

Yang kesemuanya itu hanya menunjukkan ashabiyyah (fanatisme) terhadap syahwat dan taqdis (pengkultusan) kepada akal secara berlebihan, yang kesemuanya ini merupakan ciri sebagian aliran mu'tazilah-jadidah (neo-rasionalis) yang kemudian sayap radikalnya bermuara kepada aliran liberal yang menyempal jauh dari ajaran Islam, merupakan mazhab sempalan dalam ajaran Islam, sebagaimana mazhab Syi'ah maupun Khawarij.

Salah satu ciri kelompok ini adalah pernyataan mereka bahwa dalam syari'at Islam kebenaran sebuah pandangan adalah relatif karena semuanya adalah ijtihad, maka setiap orang berhak untuk memilih mana yang menurutnya benar. Inna liLLLAAHi wa inna ilayhi raaji'uun! Dari mana munculnya igauan seperti ini?! Coba tunjukkan referensi yang mu'tabar (diakui sebagai referensi syari'ah) yang menyebutkannya?! Kecuali referensi para orientalis atau murid-muridnya, maka tidak ada jumhur-ulama yang mengakuinya kecuali kalangan orientalis dan para pengikut-pengikutnya, semoga mereka diberi hidayah sehingga kembali ke jalan Islam yang lurus, aamiin.

***

Makna Menutup Aurat dan Jilbab

a. Aurat dalam bahasa Arab bermakna keburukan manusia [1], atau celah/kekurangan[2]. Adapun menurut syari'ah didefinisikan sebagai apa-apa yang diwajibkan untuk ditutupi dan diharamkan untuk dipandang [3].

b. Jilbab berbeda dengan kerudung (khumur) [4], karena jilbab adalah baju kurung yang panjang/jubah [5] yang digunakan agar menutupi seluruh yang di bawahnya. Ia merupakan kain yang diselubungkan di atas kerudung [6], atau sejenis kain selubung/semacam mantel (milhafah) [7].

***

Aurat Wanita yang Wajib Ditutup dalam Al-Qur'an

a. Yang wajib berjilbab bukan hanya istri Nabi saja. "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu dan ALLAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [8].

Berkata Imam At-Thabari bahwa maknanya, ALLAH SWT berfirman pada nabi SAW, "Hai Nabi, katakan pada istrimu, anak-anakmu, dan wanita muslimah : Janganlah kalian menyerupai wanita-wanita lain dalam cara berpakaiannya (yatasyabbahna bil ima'i fi libasihinna), yaitu dengan membiarkan rambut dan wajah terbuka, melainkan tutup semua itu dengan jilbab [9].

Berkata Imam Ibnu Katsir bahwa maknanya, ALLAH SWT menyampaikan kepada NabiNYA agar memerintahkan kepada semua wanita muslimah agar menjaga kehormatan mereka dan agar mereka berbeda dengan cara berpakaiannya wanita jahiliyyah, yaitu hendaklah gunakan jilbab [10].

Berkata Imam Asy-Syaukaniy bahwa ayat ini sabab-nuzulnya adalah berkenaan dengan peristiwa keluarnya Saudah RA yang dicela oleh Umar RA, lalu turun ayat ini yang membolehkan wanita keluar rumah untuk suatu kepentingan asal mereka menutup jilbabnya [11].

b. Ayat ini tidak ada kaitannya dengan Haditsul 'Ifki. Di antara salah satu kedunguan mereka dan tidak berilmunya mereka dan guru-guru mereka, adalah kata-kata mereka bahwa asbab-nuzul ayat ini berkaitan dengan peristiwa haditsul-'ifki pada Ummul Mu'minin Aisyah RA. Laa hawla walaa quwwata illa biLLAAH. Persis sebagaimana dalam pepatah Arab dikatakan : Saarat Musyarriqah wa sirta Mugharriban, Syattaana baynal Musyarriq wa Mugharrib (Ia berjalan ke Timur tapi engkau malah berjalan ke Barat, ketahuilah sungguh amat jauh jaraknya antara Timur dan Barat itu).

Sebagaimana kita ketahui bahwa peristiwa Al-'Ifki itu turun berkenaan dengan QS. An-Nuur [12], tidak ada hubungannya dengan QS. Al-Ahzab, karena surah Al-Ahzab turun berkenaan dengan itu, melainkan berkenaan dengan bantahan kepada orang-orang Munafiq Madinah seperti Ibnu Ubay dan lain-lain yang didatangi tokoh-tokoh Quraisy Makkah ba'da perang Uhud, lalu mereka takut Nabi SAW akan mengetahui mereka, maka turun surah ini untuk meneguhkan Nabi SAW dan membantah mereka [13].

c. Ayat ini tidak bisa menggunakan kaidah fiqh. Al-'Ibratu Bikhushushi Sabab La Bi Umumi Lafzh (Hukum itu Berdasarkan Khususnya Sebab Bukan Umumnya Lafzh). Salah satu bentuk kerancuan berfikir mereka menyimpangkan kaidah secara tidak benar untuk mengelabui orang-orang bodoh, karena memang hanya orang bodoh saja yang tertarik pada pendapat mereka, bahwa sudah jelas-jelas ayat tersebut menyatakan : Qul Li Azwajika wa Banatika wa Nisa'il Mu'mina (Katakan pada istrimu, anakmu, dan PARA WANITA MUSLIMAH), lalu tiba-tiba mereka bicara tentang kaidah berdasarkan khususnya sabab saja.

Menjelaskan sabab-nuzulnya saja sudah ngawur di atas, lalu bertambah ngawur lagi dalam menggunakan kaidah ini sementara khithab ayat ini bersifat umum dan tidak bisa di-takhshish. Mengapa mereka sampai berfikir dengan kaidah terbalik-balik demikian?! Karena kebohongan dan tidak menjaga amanah ilmiah, sudah mendarah-daging dalam diri mereka dan diajarkan juga oleh guru-guru mereka, sehingga memutar balik hukum, dalil, dan ayat tidak menjadi masalah buat mereka, yang penting hawa-nafsu mereka terpuaskan.

Kalau perlu mengambil dalil fiqh dan hadits dari kitab sastra juga tak apa, yang penting berargumen dengan Kitab Kuning supaya nampak "pinter". Kalau ada yang mengerti lalu mengecek dan menunjukkan letak salahnya, cukup mereka katakan saja, "Maaf, salah tulis." kan beres, lalu cari lagi kitab lainnya, siapa tahu tidak ketahuan belangnya. Na'udzu biLLAAHi min dzalik.

d. Saat turun ayat Jilbab ini, para shahabat wanita langsung melaksanakannya tanpa banyak alasan dan keberatan. Berkata Ibnu Abi Hatim, telah menceritakan kepada kami Abu AbdiLLAAH Azh-Zhahraniy, dari apa yang ditulisnya untukku, telah menceritakan kepadaku AbduRRAZZAQ, telah menceritakan kepadaku Ma'mar, dari Ibnu Khutsaim, dari Shafiyyah binti Syaibah, dari Ummu Salamah berkata, "Semoga ALLAH SWT merahmati para wanita Anshar, pada saat turun ayat ini [14], maka keluarlah semua wanita Anshar seolah-olah di kepala-kepala mereka ada burung Gagak (Al-Ghirban), karena jilbab yang mereka kenakan dengan bahan yang seadanya yang mereka temui saat itu juga." [15].

***

Aurat Wanita dalam As-Sunnah

a. Hadits Pertama : "Tidak diterima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali menggunakan khimar (kerudung)." [16].

b. Hadits Kedua : "Sesungguhnya Asma' binti Abibakr (saat itu ia masih remaja, pen) masuk ke tempat Nabi SAW menggunakan pakaian yang menampak samar-samar bayang-bayang kulit di bawahnya, maka Nabi SAW berpaling darinya sambil bersabda, "Wahai Asma', sesungguhnya wanita itu jika sudah haidh tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali ini dan ini," beliau SAW memberi isyarat pada wajah dan tapak tangannya." [17].

c. Hadits Ketiga : "Ada 2 kelompok manusia penghuni neraka yang belum pernah kulihat (saat beliau SAW hidup, pen); Yang pertama, laki-laki yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang kerjanya memukuli manusia dengannya. Yang kedua, wanita yang berpakaian tetapi telanjang, kalau jalan berlenggang-lenggok menggoda rambutnya seperti punuk unta. 2 kelompok ini tidak masuk Syurga dan tidak bisa mencium bau Syurga, padahal baunya tercium dari jarak sekian dan sekian (jarak yang amat jauh, pen)." [18].

***

Aurat yang Wajib Ditutup Menurut Madzhab yang Empat

a. Menurut Madzhab Hanafi : Aurat Wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan 2 telapak tangannya [19], oleh karenanya kepala wanita adalah aurat yang harus ditutup [20]. Bahkan berkata Imam Hanafi : Kewajiban menutup aurat di depan manusia sudah menjadi ijma' (konsensus semua ulama), demikian pula saat ia shalat walaupun shalatnya sendirian. Maka seandainya saja ada orang yang melakukan shalat dalam keadaan sendirian tidak menutup aurat sekalipun di tempat yang amat gelap-gulita, padahal ia memiliki pakaian yang dapat menutupinya, maka shalatnya batal [21].

b. Menurut Madzhab Maliki : Aurat wanita di depan sesama wanita muslimah adalah sama dengan aurat laki-laki dengan sesama laki-laki (yang tidak boleh terlihat hanya antara pusar sampai lutut, pen) [22], aurat wanita di depan laki-laki muslim adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan 2 tapak tangannya, aurat wanita di depan laki-laki kafir adalah seluruh tubuhnya termasuk wajah dan 2 tapak tangannya [23]. Berkata Imam Malik : Jika seorang wanita merasa wajahnya atau tapak tangannya demikian indahnya sehingga ia amat kuatir orang yang melihatnya terkena fitnah, maka lebih baik ia tutup bagian tersebut (dengan cadar misalnya, pen) [24].

c. Menurut Madzhab Syafi'i [25] : Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan 2 tapak tangannya [26], yaitu tapak tangannya yang bagian atas maupun yang bagian bawahnya bukan termasuk aurat, tapi dalam masalah ini madzhab kami ada 2 qaul, namun berkata Al-Muzni bahwa yang kuat ia bukan termasuk aurat [27]. Telapak kaki wanita termasuk aurat [28]. Bagi banci yang menurut kedokteran dominan sifat wanitanya, maka auratnya sama dengan aurat wanita [29]. Berkata Imam Syafi'i : Bukan hanya batas auratnya [30] saja yang harus ditutup, melainkan tidak cukup aurat tersebut ditutupi oleh pakaian yang menutupi seluruhnya jika ia masih ketat/membentuk tubuh [31].

d. Menurut Madzhab Hanbali : Ada 2 qaul [32], yang pertama menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya sampai ke kuku-kukunya [33] berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi, "Al-Mar'atu 'aurah (wanita itu aurat)," dan qaul kedua dikecualikannya wajah dan 2 tapak tangan berdasar hadits larangan bagi wanita menutup keduanya saat Ihram [34], juga sesuai dengan makna ayat "maa zhahara minha (kecuali yang biasa nampak)" [35], maka wajah dan 2 tapak tanganlah makna ayat tersebut karena keduanya tidak mungkin ditutup untuk mengenali orang saat berbisnis dan sebagainya [36], ada juga yang menambahkan kedua tapak kaki [37].

e. Tarjih wal Mulahazhat : Sebab dari adanya perbedaan pendapat ini adalah dalam menafsirkan ayat QS. An-Nur di atas. Apakah maknanya ada yang boleh nampak atau maknanya tidak ada yang boleh nampak bagi wanita. Jumhur fuqaha berpendapat wajah dan 2 tapak tangan bukan aurat bagi wanita. Imam Hanafi menambahkan tapak kaki wanita bukan aurat. Sementara Abubakar bin AbduRRAHMAN dan satu qaul dari Imam Ahmad berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat.

Mereka yang berpendapat bahwa tidak ada yang biasa nampak untuk wanita dan menyatakan seluruh tubuhnya adalah aurat, berdalil dengan menafsirkan ayat ini dengan ayat di surah Al-Ahzab di atas (tafsirul Qur'an bil Qur'an). Adapun kelompok yang menyatakan adanya pengecualian wajah dan 2 tapak tangan berdalil dengan wajibnya membuka kedua hal ini saat haji berdasar hadits-hadits shahih, dan pendapat yang kedua ini lebih kuat. WaLLAAHu a'lam bish Shawaab.

Demikian wahai para wanita muslimah, jadi bukan menggunakan pendekatan logika atau pendekatan kultural Arab, antropologi, sosiologi, dan yang semacamnya yang tentu saja bisa berbeda-beda. Rambut sama hitam, pendapat bisa berbeda. Melainkan semuanya itu, jika kita bicara syari'ah, harus berdasarkan dalil dan di-istinbath menggunakan metode ilmu syari'ah yang benar dan bukan metode kirata (dikira-kira tapi nyata).

Dan yang demikian ini, jika kita masih menganggap Al-Qur'an itu adalah firman ALLAH SWT yang terjaga dari kesalahan dan Hadits Shahih adalah sabda Nabi SAW yang ma'shum lepas dari hawa-nafsu, kecuali jika kita anggap Al-Qur'an seperti koran-harian yang bisa direaktualisasi atau hadits Nabi SAW setara dengan ucapan Nietsche atau Juergen Habermas, maka sungguh aku berlindung pada ALLAH SWT dari hal yang demikian bagi diriku sendiri dan seluruh keturunanku, fa ayna tadzhabina ayyuhal muslimah???

---

[1] Ash-Shihaah Fil Lughah, II/5; Tahdzib Al-Lughah, I/367.
[2] Lisanul Arab, IV/612; Tajul Arus, I/3257.
[3] Al-Fiqh Al-Islamiy, I/738.
[4] Tafsir Ibnu Katsir, VI/481.
[5] Kamus Al-Munawwir, bab Ja-la-ba, halaman 199.
[6] Demikianlah pendapat para mufassir seperti Ibnu Mas'ud, Ubaidah, Qatadah, Hasan Al-Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim An-Nakha'i, Atha' Al-Khurasaniy.
[7] Ash-Shihaah, I/101; Demikian pendapat Al-Jauhary berdasarkan sya'ir seorang tokoh wanita dari suku Hudzail, "Berjalanlah ia seorang diri dengan lalai. Yaitu dengan telanjang (hanya berkerudung saja, pen) tanpa berjilbab."
[8] QS. Al-Ahzab, 33 : 59.
[9] Tafsir At-Thabari, XX/324.
[10] Tafsir Ibnu Katsir, VI/481.
[11] Tafsir Durrul Mantsur, VIII/208. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Al-Baihaqi, dan Ibnu Sa'd.
[12] Shahih Bukhari, no. 2314, 6633; dan Muslim, no. 1697.
[13] Asbab Nuzulil Qur'an, Al-Wahidi, I/126; Tafsir Munir, Az-Zuhayli, XI/247.
[14] QS. Al-Ahzab, 33 : 59.
[15] Tafsir AbduRRAZZAQ, II/101; Ada riwayat lain yang menjadi syawahid atas hadits ini yang diriwayatkan Al-Hasan bin Muslim, dari Shafiyyah binti Syaibah, dari A'isyah RA (Shahih Bukhari, no. 4759).
[16] HR. Abu Daud no. 164; Tirmidzi, II/215-216; Ibnu Majah no. 655; Ibnu Abi Syaibah, II/28; Al-Hakim, I/251; Al-Baihaqi, II/233; Ahmad, VI/150; Di-shahih-kan oleh Albani dalam Al-Irwa', I/214.
[17] HR. Abu Daud, II/138, hadits ini dha'if tapi ada syahid dari hadits Asma' binti Umays RA dari Al-Baihaqi, VII/76; sehingga menjadi hasan. Lihat Al-Irwa', VI/203.
[18] HR. Muslim, XIV/229 hadits no. 5704 (Imam Muslim sampai menamai babnya ini dengan nama : "Wanita-wanita yang Berpakaian tapi Telanjang"); Al-Baihaqi, II/234; Ahmad, II/355.
[19] Al-Ikhtiyar Li Ta'lil Al-Mukhtar, I/4.
[20] Al-Mabsuth, II/64.
[21] Raddul Mukhtar, I/375.
[22] Mawahib Al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Syaikh Khalil, IV/16.
[23] Asy-Syarhul Kabir Li Syaikh Ad-Dardir, I/214.
[24] Mawahib Al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Syaikh Khalil, IV/24.
[25] Imam Az-Zayadi Asy-Syafi'i dalam Syarhul Muharrar menyebutkan 4 jenis aurat bagi wanita : Pertama, aurat saat shalat, yaitu kecuali wajah dan 2 tapak tangan; Kedua, aurat pandangan dari orang laki-laki, yaitu semuanya termasuk lelaki dilarang memandangi secara terus-menerus wajah dan tangan wanita; Ketiga, aurat di depan suami atau saat sendirian, yaitu sama dengan aurat laki-laki (kecuali pusar dan lutut); Keempat, aurat di depan orang kafir, yaitu seluruh tubuhnya. (Hawasyi Asy-Syairaziy, II/112).
[26] Al-Majmu', III/167.
[27] Raudhatut Thalibin wa 'Umdatul Muftin, I/104.
[28] Al-Umm, I/109.
[29] Fathul Wahhab, I/88.
[30] Aurat ada yang mughalazhah (aurat besar), yaitu 2 kemaluan, dan ada yang ghairu-mughalazhah (aurat kecil). Keduanya harus ditutup.
[31] Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 54.
[32] Menurut Abul Ma'aliy Al-Hanbali, aurat anak yakni : 1) Sebelum 6 tahun semuanya bisa dilihat; 2) Setelah 6 tahun yang boleh dilihat hanya rambut, betis, dan lengan. Ada juga yang menyatakan seluruh tubuhnya kecuali 2 kemaluan; 3) Setelah 10 tahun sama dengan setelah baligh. (Al-Furu' Libni Muflih, I/476).
[33] Ibid.
[34] Asy-Syarhul Kabir, I/458.
[35] QS. An-Nur, 24/31.
[36] Al-Iqna', I/113.
[37] Al-Furu' Libni Muflih, I/476.

*Kota Santri.com

Baca Selengkapnya..

Rabu, 09 Januari 2008

Menumbuhkan Jiwa Wirausaha Sejak Dini

Tanggungjawab, kreativitas dan mampu mengambil keputusan adalah sifat yang akan muncul pada anak jika jiwa wirausaha ditumbuhkan sejak dini. Sifat tersebut merupakan modal bagi keberhasilan hidup anak saat ia dewasa.

Ramalan beberapa ahli tentang gambaran masa depan dunia yang menuntut munculnya jiwa wirausaha pada tiap individu tak dapat disangkal lagi. Persaingan global antar bangsa yang tak mengenal batas antar negara menuntut setiap orang untuk kreatif memunculkan ide-ide baru. Maka mempersiapkan anak agar mempunyai jiwa wirausaha, agaknya jadi satu hal yang penting dilakukan oleh orangtua dan lingkungannya.

Peran orangtua dan guru
Wirausaha merupakan suatu usaha yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan membutuhkan banyak kreativitas. Rasa tanggung jawab dan kreativitas dapat ditumbuhkan sedini mungkin sejak anak mulai berinteraksi dengan orang dewasa. Orangtua adalah pihak yang bertanggung jawab penuh dalam proses ini. Anak harus diajarkan untuk memotivasi diri untuk bekerja keras, diberi kesempatan untuk bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan.

Selain itu, peran lingkungan, semisal guru-guru, juga berpengaruh terhadap pembentukan pribadi anak. Mereka bisa berperan dalam membuat anak agar bisa menjadi seorang enterpreneur. Untuk itu, guru harus kreatif mengajar dan membuat soal. “Berikan kesempatan untuk berpikir alternatif.

Misalnya, jangan bertanya 5X5 berapa. Tapi, tanyalah berapa kali berapa saja sama dengan 25,” kata Zainun Mu’tadin, S.Psi, M.Psi, Dosen Psikologi UPI YAI.
Dengan kreativitas orangtua dan guru, anak dilatih memiliki beberapa alternatif jawaban dan solusi. Alternatif tersebut akan melatih anak mampu mengambil keputusan yang tepat dari berbagai pilihan yang ada.

Jiwa wirausaha juga memerlukan motivasi yang bagus, intelegensi yang cukup baik, kreatif, inovatif, dan selalu mencari sesuatu hal yang baru untuk bisa dikembangkan. Sayangnya, menurut Zainun, hal-hal tersebut di sekolah kurang mendapat perhatian. Kebanyakan sekolah masih terfokus pada pengembangan kecerdasan intelegensi saja.

Sementara kreativitas masih kurang dikembangkan.
Padahal pengembangan kreativitas akan membuat anak mampu menciptakan hal-hal baru. Kreativitas inilah modal dasar untuk menjadi enterpreuner. Modal penting lainnya adalah sikap bertanggungjawab. Sisi positif lain dari pengembangan sikap ini adalah terbangunnya rasa tanggung jawab pada semua hal yang dilakukan. Menurut Zainun, bila banyak orang di Indonesia memiliki jiwa enterpreunership, maka jumlah koruptor juga akan sedikit. “Bila kelak anak tersebut dewasa dan mengambil kredit di bank, ia akan bertanggungjawab mengembalikan dan tidak akan kabur,” kata psikolog yang menamatkan studinya di UI ini.

Latihan bertahap
Menumbuhan sifat wirausaha pada diri anak memerlukan latihan bertahap. Latihan wirausaha ini bukanlah sesuatu yang rumit. Bentuknya bisa sederhana dan merupakan bagian dari keseharian anak. Misalnya, toilet training untuk melatih anak yang masih ngompol. Tujuan akhirnya sampai anak mampu membuang kotoran di tempatnya, membersihkan kotorannya, dan memakai kembali celananya. Latihan itu dilakukan secara bertahap dan mengajarkan anak untuk bertanggungjawab.

Latihan lain, misalnya melatih anak untuk dapat membereskan mainan selesai bermain dan meletakkan mainan di tempatnya. Hal ini juga merupakan latihan untuk bertanggungjawab dan awal pengajaran tentang kepemilikan. Ini mainan saya diletakkan di sini. Ini mainan kakak, kalau mau pinjam, harus ijin dulu. Sifat tersebut, menurut Zainun, adalah awal untuk menumbuhkan jiwa wirausaha pada anak.

Latihan selanjutnya adalah mengajarkan anak untuk mampu mengelola uang dengan baik. Terangkan pada anak, dari mana uang yang dipakai untuk membiayai rumah tangga. Jelaskan bahwa untuk mendapatkan uang tersebut, orangtua harus bekerja keras. Uang hanya boleh dipakai untuk kebutuhan yang benar-benar perlu. Dengan demikian anak akan menjauhi sikap konsumtif.

Dalam mengajarkan anak mengelola uang, latihan yang perlu diajarkan bukan hanya cara membelanjakan, namun juga menabung, sedekah dan mencari uang. Tentu saja cara ini memerlukan konsistensi orangtua terhadap aturan. Misalnya, saat mengajak anak berbelanja. Catat terlebih dahulu kebutuhan yang akan dibeli. Orangtua harus konsisten untuk tidak belanja di luar catatan belanja. Bila anak mengamuk meminta mainan atau barang kebutuhan lain di luar catatan, maka orangtua harus konsisten untuk membelikannya. Aturan itu harus sudah disepakati sejak awal.

Latihan seperti ini sudah dapat dilakukan sejak anak berusia dua tahun. “Jangan anggap anak tidak mengerti apa-apa dengan mengatakan ‘Ah, masih anak kecil’. Padahal sejak kecil pun anak sudah mampu berkomunikasi,” tutur ayah satu orang putra ini.

Bisnis kecil-kecilan
Setelah anak diajarkan mengelola uang, tahap selanjutnya si anak mulai dapat diajarkan berbisnis kecil-kecilan. Biasanya bisa dilakukan pada usia sekolah. Pada usia ini, anak biasanya sudah dapat diajarkan jual beli.
Pada tahap ini anak diajarkan untuk mengenal usaha untuk mendapatkan sesuatu, dengan kata lain bisnis kecil-kecilan.

Misalnya, anak bisa diajarkan menjual barang hasil karyanya, saperti es mambo, kue, dan lain-lain. “Ini tidak disarankan untuk dilatihkan, tapi sebenarnya bisa,” ujar Zainun. Syaratnya, tahapan ini bisa dijalankan bila orangtua sudah mengajarkan cara mengelola uang terlebih dahulu. Sehingga anak sudah terbiasa untuk menabung dan mengatur uangnya dengan baik. Dengan demikian uang yang mereka dapat tak segera dihabiskan untuk hal-hal yang tak perlu.

Cara yang dipakai oleh David Owen, seorang penulis buku di Amerika Serikat, agaknya layak ditiru. Owen mengisahkan tentang bagaimana ia mampu mendorong anak-anaknya menjadi gemar menabung dan penuh perhitungan dalam membelanjakan uang. Ia membuat “Bank Ayah”, khusus untuk anak-anaknya. Prinsip yang dikembangkan dalam "Bank Ayah" adalah pemberian tanggungjawab dan kontrol keuangan secara penuh pada anak sebagai pengelola uang mereka sendiri. Uang anak adalah milik anak, bukan milik orang tua. Bahkan anak juga bebas mencari pendapatan di luar jatah uang saku yang telah mereka dapatkan.

Dalam hal ini "Bank Ayah" berperan dalam melakukan kontrol secara tidak langsung, yaitu dengan mengembangkan prinsip-prinsip perbankan seperti bonus yang dapat menarik minat akan untuk menambah saldo tabungan, juga saldo minimal, yang dapat membatasi jumlah pengambilan uang agar tidak terkuras habis. Dengan ini anak akan benar-benar bertanggungjawab dan berhati-hati dalam membelanjakan uangnya.

"Bank Ayah" ala David Owen ini tidak cuma menjadi daya tarik anak untuk menabung. Lebih dari itu "Bank Ayah" dikelola sebagai sarana pembelajaran dari praktik ekonomi kepada anak dengan bahasa yang sederhana. Dengan sedikit improvisasi, Owen mengubah "Bank Ayah" ini menjadi media latihan berinvestasi pada anak-anaknya. Owen sendiri berhasil mendirikan sebuah perusahaan pialang saham yang bernama "Dad and Co”.

Jadi sejak dini jiwa wirausaha baik untuk ditanamkan. Inti dari kewirausahaan adalah bagaimana menanamkan cara untuk berusaha, memecahkan permasalahan dan bertanggung jawab penuh atas apa yang dia lakukan. Sangat positif, bukan? *Ummigroup.co.id

Baca Selengkapnya..